NGAMPRAH, (PRLM).- Pihak Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3KB) Kabupaten Bandung Barat mengaku kesulitan mensosialisasikan sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan pemberdayaan serta perlindungan perempuan dan anak-anak. Faktor luasnya wilayah menjadi kendala utama dalam sosialisasi tersebut.
Kepala Bidang BP3KB KBB, Nurdjulaeha, mengatakan, pihaknya mengaku kesulitan untuk menyosialisasikan Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang No. 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. “Pasalnya, wilayah KBB cukup luas. Kami cukup kesulitan untuk melakukannya,” katanya saat dihubungi, Jumat (14/6/13).
Menurutnya, tidak tersosialisasikannya undang-undang tersebut banyak membuat kaum perempuan dan anak-anak, terutama di wilayah pelosok KBB, tidak mengetahui perihal hak-haknya. Padahal, pengetahuan mengenai hak tersebut, menurutnya, memiliki peran penting dalam hal pemberdayaan.
Dia mencontohkan fenomena di sejumlah wilayah tentang maraknya anak-anak yang terpaksa bekerja, terutama di KBB. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, bahwa seseorang berusia anak-anak bila umurnya berada di rentan 0-18 tahun.
“Akan tetapi, saat ini justru anak-anak yang bekerja di umur segitu banyak. Kita lihat anak-anak yang membuat dan menjual coet, misalnya, di kawasan Cipatat,” katanya.
Meskipun demikian, dia mengatakan, anak-anak yang bekerja tersebut sebagian besarnya dilatarbelakangi oleh persoalan kebutuhan ekonomi yang menghimpit. Hal itu pula, menurutnya, yang membuat banyak anak-anak lebih memilih menghabiskan waktunya untuk bekerja, daripada menyelesaikan sekolah.
Selain itu, dia mencontohkan juga UU No. 23/2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dia beranggapan, luasnya wilayah di KBB memungkinkan adanya kasus KDRT yang tidak terungkap, karena tidak ada yang melaporkannya. Hal itu terutama untuk wilayah yang berada di pelosok KBB. Biasanya, menurut dia, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di suatu wilayah merupakan pihak pertama yang melaporkan adanya kasus KDRT kepada pihaknya.
Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu persoalan yang menjadi perhatian pihaknya saat ini. Dia menilai, sosialisasi yang tidak memadai mengenai KDRT bisa membuat pemberdayaan bagi kaum perempuan menjadi terkendala.
Apalagi, bila melihat kondisi, bahwa kualitas sumber daya perempuan di KBB saat ini belum cukup baik. Menurutnya, mayoritas perempuan di daerah selatan KBB belum memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Mayoritasnya masih tamatan sekolah dasar.
Ketua LSM Binangkit Jawa Barat, Susane Setiyati sempat menyebutkan, bahwa pemberdayaan bagi kaum perempuan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi kaum perempuan itu sendiri. Dia mencontohkan, dalam persoalan KDRT, pemberdayaan perlu dilakukan dengan cara pemulihan secara psikis terlebih dahulu. “Kesehatan batin dan fisik harus menjadi prioritas utama,” katanya.
Sementara bila persoalannya menyangkut pemberdayaan secara ekonomi, dia mengatakan, agar setiap program bantuan modal bagi memperhatikan kebutuhan, minat, serta potensi perempuan.
Dia mengatakan, seringkali bantuan modal, terutama dari pemerintah, menjadi sia-sia karena tidak memperhatikan kebutuhan, minat, serta potensi perempuan. Padahal, dia beranggapan, program pemberian modal itu sangat baik bila ingin memberdayakan perempuan secara ekonomi. (A-204/A-108)***