Oleh Mudjahirin Thohir
Pendahuluan
Pembangunan, dirancang dan dijalankan, secara moral dan etik, ia harus menguntungkan semua pihak: rakyat, pemerintah, dan para stake-holder. Dengan pijakan filosofi seperti itu maka spirit untuk saling mendialogkan berbagai hal, menyangkut rancangan-rancangan, proses, dan keterlibatan masing-masing pihak menjadi jelas dan terukur. Terlebih dari itu, adalah akan terbentuknya tindakan kolektif yang bisa saling memberi makna.
Dalam suatu tindakan kolektif itu, yang menentukan suatu kegiatan sosial & ekonomi bukan individu-individu, tetapi seluruh masyarakat di dalam suatu sistem kewilayahan (desa, misalnya). Dalam kondisi seperti ini, memang ada kelemahan, di antaranya sulit munculnya inovasi baru dan inisiatif yang datang dari individu karena setiap anggota masyarakat menganggap bahwa sikap kebersamaan lebih utama daripada harus mengambil jalan sendiri-sendiri. Karena sikap seperti itu maka tindakan kolektif berjalan terkadang menjadi sangat lamban, dan cenderung berada di bawah tingkat optimum karena suatu masyarakat sulit mengatasi pembonceng gratis (free rider). Kelemahan yang lain ialah lembaga-lembaga tradisional pedesaan meskipun bisa menjadi sarana yang efektif untuk mengorganisir tindakan kolektif, tetapi tak menjamin adanya sistem distribusi sumber-sumber secara efisien. Bahkan lembaga-lembaga tradisional itu sendiri justru sering menghambat sistem distribusi sumber-sumber ekonomi.
Untuk mengatasi hal tsb, Mansur Olson memberi jalan keluarnya sbb:
- Mengorganisir kelompok-kelompok kecil yang efektif dengan melakukan pemecahan-pemecahan kelompok besar yang kurang efektif dalam mengontrol sikap anggota satu sama lain. Organisasi kecil yang efektif tadi sangat diperlukan agar tindakan kolektif untuk mengatasi masalah-masalah tertentu di pedesaan yang tumbuh sebagai suatu gerakan. Gerakan semacam ini adalah mobilisasi potensi dan daya dinamik masyarakat petani.
- Tindakan kolektif bisa muncul bila dilakukan selektivitas terhadap apa-apa yang yang secara positif bisa dilakukan oleh anggota dan kelompoknya. Bentuk-bentuk peraturan formal yang tegas tetapi positif memainkan peranan penting. Antara hak & kewajiban menjadi dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Pemakai air PAM misalnya, sudah seharusnya membayar iuran setiap bulan sesuai dengan apa yang telah dipakainya. Kewajiban memberi iuran itu dimaksudkan untuk dana-dana pemeliharaan sehingga disamping keberlangsungannya lebih bisa diandalkan, juga dibiasakannya untuk menggunakan seperlunya.
Untuk menggalang partisipasi penduduk, tak cukup hanya melalui komitmen yang tinggi. Di dalam mobilisasi partisipasi penduduk, mereka ditempatkan sebagai pelaku sekaligus instrumen bagi suatu perubahan untuk dirinya sendiri & sekaligus masyarakat secara umum. Untuk itu, perlu membangun kepemimpinan yang kuat di pedesaan, dan melibatkan pemimpin-pemimpin di desa dalam berbagai progam pembangunan, baik yang datang dari inisiatif mereka sendiri maupun yang datang dari atas.
Jadi, partisipasi pada dasarnya bisa digalang kalau manfaat dari suatu pembangunan bisa dirasakan secara massal (mayoritas). Efektivitasnya bergantung pada sejauh mana pemerintah memberi insentif untuk menstimulasi gerak pembangunan di desa, memberi ruang lembaga-lembaga indegenous berperanan positif serta tidak membiarkan lembaga-lembaga itu rusak karena adanya lembaga-lembaga baru dari luar.
Lihat contoh Subak di Bali.
Perbedaan Pandangan Tentang Masyarakat Petani:
James Scott:
“Petani-petani tradisional di Asia Tenggara, selalu mendasarkan segala tindakannya berdasarkan prinsip-prinsip moral (subsistensi), bukan atas dasar prinsip-prinsip rasional sebagaimana teori-teori ekonomi klasik maupun neoklasik. Maka kebijaksanaan-kebijakan rasional yang diinjeksikan ke sector-sektor pertanian & kawasan pedesaan akan berhadapan dengan berbagai masalah norma & kelembagaan”.
Popkin:
“Petani tradisional didominasi oleh motivasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan kelompok. Petani tradisional lebih menggantungkan hidupnya pada keluarga atau kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk menegaskan jaminan subsistensi mereka”.
TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Max Weber (1958) “From Max weber, Essays in Sociology’, translated, edited with an intoduction by H.H. Gerth andd C. Wright, Mills’. Oxford Univeristy Press.
“kegiatan ekonomi tidak harus menentukan sifat-sifat ideal man dan membangun suprastruktur hukum, politik, dan ideologi. Sebab dalam masyarakat, terdpt tiga dimensi tatanan yang hidup terpisah satu sama lain yaitu tatanan ekonomi, tatanan sosial, dan tatanan hukum. Tatanan ekonomi adalah suatu cara pendistribusian & penggunaan benda ekonomi dan jasa-jasa dalam masyarakat. Tatanan sosial adalah suatu cara pendistribusian kehormatan sosial dalam suatu komunitas di antara kelompok-kelompok khusus yang ada. Sedangkan tatanan hukum adalah pendisttribusian kekuasaan sah, bisa jadi kekuasaan ekonomi, kekuasaan sosial, dan atau keduanya.
Weber melihat bahwa ketiga tatanan ini dapat terpisah dengan otonominya sendiri, meskipun dalam kasus tertentu bisa berkaitan atau identik satu sama lain. Kelompok status misalnya, adalah kelompok orang yang berada dalam situasi status yaitu suatu penilaian-penilaian dan persetujuan-persetujuan sosial yang dicerminkan dalam gaya hidup tertentu. dalam pada itu, partai adalah kelompok yang tindakannya berorientasikan pada perolehan kekuasaan sosial untuk mempengaruhi tindakan komunal. Maka bisa dimengerti kalau tindakan partai politik untuk memperoleh kekuasaan sering dilakukan melalui situasi status atau kekuasaan atas penguasaan sumber-sumber ekonomi, dan juga dapat dilakukan melalui situasi status atau kekuasaan atas kehormatan sosial, tetapi dalam saat yang lain, bisa tidak melalui keduanya. Saling keterhubungan dinamis antara kelas, kelompok status, dan partai merupakan proses dinamis dari perubahan struktural dalam masyarakat. Dinamika perubahan itu sangat tergantung pada perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Dalam perspektif evolusioner, sebagaimana dikatakan Lenski (1966,1975), tingkat kemajuan teknologi akan menentukan sistem distribusi barang dan jasa dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi struktur sosialnya. Dalam masyarakat yang masih menggunakan teknologi sederhana, seluruh atau sebagian besar barang dan jasa yang tersedia akan didistribusikan atas dasar kebutuhan, namun dalam masyarakat yang mengalami kemajuan teknologi, peningkatan proporsi barang dan jasa yang tersedia akan didistribusikan atas dasar kekuasaan. Distribusi kekuasaan akan menentukan distribusi privilise, dan distribusi pprestise ini membentuk sistem distribusi dalam masyarakat.
Perubahan strruktural dalam masyarakat dapat dijelaskan lewat sistem distribusi, yang terdiri atas tiga unit, yi unit individual, kelompok-kelompok sosial (kelas) dan sistem kelas. Unit individual adalah tingkat dasar yang tercakup dalam unit kelas-kelas (pengelompokan orang dalam masyarakat yang berada di dalam posisi yang sama dalam hal beberapa bentuk kekuasaan dan prestise (privilise). Kedua unit itu kmd tercakup dalam sistem kelas yaitu hirarki kelas-kelas yang tersusun dalam jenjang beberapa kriteria tunggal, seperti sistem kelas pemilikan, sistem kelas okupasi, sistem kelas politik dan semacamnya. Dan perubahan struktural dalam masyarakat hanya dapat dipahami lewat hubungan struktural di antara sistem2 kelas itu.
Di dalam sistem kelas sosial dapat terjadi hubungan dinamis dan hubungan struktural. Gorodon (1978) melihat bahwa hubungan dinamis merupakan perwujudan pengaruh sebab akibat antara kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, dan status sosial di dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan hubungan struktural merupakan perwujudan saling hubungan antara kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, dan status sosial. Hubungan struktural itu dapat melalui interaksi di antara berbagai parameter struktural dengan mengambil bentuk konsolidasi maupun interseksi. Yang pertama, adalah interaksi saling memperkuat bersatuya berbagai parameter struktural sehingga membuat perbedaan struktural di dalam masyarakat menjadi tajam. Sebaliknya, hubungan interseksi adalah interaksi saling bersilangan antara berbagai parameter strultural sehingga perbedaan struktural tidak menj tajam karena perbedaan yang ada telah dieliminir oleh kesamaan yang timbul akibat dari bersilangnya berbagai parameter itu.
(lihat Gilang dan Nasikun. 1992).
Masyarakat petani:
Ciri-cirinya menurrt Shanin. 1971: 245 (“Peasant as Political Factor”. Dalam Peasant and Peasant Societies) ialah:
- memp hubungan dengan tanah dengan ciri spesifik produksi pertanian berakar pada keadaan khusus petani;
- Usaha tani keluarga merupakan satuan dasar pemilikannya, produksi dan konsumsi dan kehid sosial petani;
- Kepentingan pokok pekerjaan dalam menentukan kedudukan sosial, peranan dan kepribadian petani dikenal baik oleh masyarakat ybs;
- Struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu dan waktu tertentu; dan
- Masyarakat petani merupakan sebuah kesatuan sosial pra-industri yang memindahkan unsur-unsur spesifik struktur sosial-ekonomi dan kebudayaan lama ke dalam masyarakat kontemporer.
Masyarakat petani
Sumber:
- Thomas . Moore. 1961. “The Purpose of Licensing’. Dalam Journal of Law & Economis. October;
- Mansur Olson, Jr. 1965. The Logic of Collecive Action. Cambridge: Harvad University Press.
- Diambil dari intisari tulisan Didik J. Rachbini. 1990. “Petani, Pertanian Subsisten dan Kelembagaan Tradisional – Suatu Tinjauan Teoritis”. Prisma. No, 2, Th.XIX.
- Koentjaraningra, 1986. Pengantar Ilmu Antroplogi. Jkt: Aksara Baru;
- Triyono, Lambang dan Nasikun. 1992. Proses Perubahan Sosial di desa Jawa. Yogyakarta: Fisipol & Rajawali Pers.
Sumber : http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2012/04/23/model-pemberdayaan-masyarakat/
Dikutip : 17-04-2013