Oleh: Achmad Zaini
Koorkot Situbondo – Bondowoso
OSP 6 Provinsi Jawa Timur
PNPM Mandiri Perkotaan
Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM) adalah kumpulan sifat-sifat pribadi orang, yang kemudian diterjemahkan dengan bentuk ikhtiar memilih orang sesuai dengan sifat yang dikehendaki oleh masyarakat sebuah kelurahan/desa. Proses pembangunan BKM/LKM di PNPM Mandiri Perkotaan sungguh merupakan suatu model pilihan yang indah. Melibatkan sebanyak mungkin penduduk dewasa, memilih orang tanpa embel-embel uang, langsung, umum, bebas dan bisa memilih siapa saja sesuai dengan kata hatinya, meski dalam prosesnya pembangunan BKM/LKM sendiri menguras banyak energi, waktu dan biaya juga. Pendek kata, pada hakikatnya, mereka yang terpilih menjadi anggota BKM/LKM adalah para “nabi-nabi lokal”.
BKM/LKM adalah lembaga pimpinan kolektif masyarakat dengan fungsi utama mengendalikan (steering) kegiatan penanggulangan kemiskinan, sehingga mampu menjaga posisi pada fungsi kontrol dan fasilitasi serta tidak terlibat dalam kegiatan praktis pelaksanaan, karena akan mudah terperangkap pada situasi konflik kepentingan. Sebagai stimulator, BKM/LKM membangun sikap dan perilaku masyarakat agar menjadi masyarakat yang saling percaya (di antara mereka sendiri) dan bisa dipercaya pihak luar. Karena, kepercayaan merupakan unsur utama dalam membangun kerja sama.
BKM/LKM berikhtiar membangun modal sosial dengan cara menumbuhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, ikatan-ikatan sosial dan menggalang kerja sama sesama warga untuk menanggulangi kemiskinan secara mandiri. Serta, menjadi motor gerakan solidaritas sosial di masyarakat, sekaligus menggalang kepedulian dari pihak luar. Agar dapat menjadi motor penggerak, BKM/LKM harus dapat dipercaya baik oleh warga masyarakat setempat maupun pihak luar. Dan, sebenarnya BKM/LKM sudah mempunyai modal itu.
Refleksi BKM/LKM
Berangkat dari sebuah pertanyaan terkait ribuan BKM yang didampingi PNPM Perkotaan mulai tahun 1999: Apakah BKM/LKM yang terbentuk mampu mandiri. Berapa banyak yang sesuai dan tidak sesuai dengan harapan seperti konsep pembangunannya yang mandiri?
Walaupun telah banyak tulisan tentang keberhasilan BKM/LKM yang mampu membangun kemitraan dengan pihak luar pemerintah daerah, dunia usaha dan pihak lain, pada kenyataannya hanya sedikit sekali BKM/LKM yang mampu mandiri dengan indikator menyelesaikan masalah penggulangan kemiskinan dalam bentuk kerja sama dengan pihak luar. Meski demikian, hingga sekarang tidak ada data yang merekam berapa jumlah BKM yang mampu dan tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak luar. Artinya desain pembangunan BKM/LKM ternyata tidak berdampak sistematis terhadap penanggulangan kemiskinan di kelurahan/desa setempat.
Analisa dan Ide Sistemik membangun kemandirian BKM
Seharusnya, modal BKM/LKM sebagai lembaga terpercaya karena dipilih langsung oleh masyarakat langsung berdasar sifat baik. Atau dengan kata lain, BKM/LKM—para “nabi-nabi lokal”—seharusnya mampu menjadi jaminan masyarakat percaya dengan BKM/LKM. Melalui proses pembelajaran siklus masyarakat dan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) harusnya berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat yang bertambah tinggi kepada BKM/LKM. Sehingga, pada akhirnya orang kaya/mampu tidak perlu mencari lembaga lain atau menyalurkan langsung zakat mal, infaq atau sumbangan (secara langsung) kepada warga miskin, karena sudah ada BKM/LKM.
Namun pada kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi, karena beberapa hal prinsip sebagai berikut.
Pertama, PNPM Mandiri Perkotaan harus mengubah orientasi pembangunan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan pengokohan institusi komunitas yang sudah ada menjadi pilihan utama. Bukan orientasi membentuk KSM baru sebagai pilhan utamanya. Standard Operational Procedure (SOP) pembentukan KSM di angka nomer satu yang menyatakan minimal anggota KSM adalah lima orang justru mendorong masyarakat malah membentuk “gerombolan kepentingan kecil masyarakat”.
Syarat suatu kelompok akan mempunyai tujuan bersama, saling percaya, saling peduli, adanya ikatan kebersamaan, mempunyai jadwal rutin pertemuan, akan sulit sekali terpenuhi. Yang terjadi justru ada kepentingan sesaat. Bukan kelompok yang terjadi, melainkan semacam gerombolan yang tidak mempunyai ikatan kepercayaan, apalagi kebersamaan. Sehingga, dalam pelaksanaan kegiatannya, banyak sekali terjadi kegagalan. Konsep KSM yang dibangun di PNPM Mandiri Perkotaan justru berbalik ironis. Hanya menjadi “panitia” di kegiatan infrastruktur dan sosial yang sifatnya hanya sementara (ad hoc), yang kemudian diteruskan dengan oraganisasi pemelihara (OP). Pada instrumen penilaian perkembangan KSM semakin menunjukkan kalau desain KSM di awal tidak berjalan seiring dengan pelaksanaan di lapangan. Maknanya, penyempitan arti sebuah KSM.
Kedua, BLM yang turun rutin tiap tahunnya justru menjebak masyarakat terjebak dalam ketergantungan terhadap pihak luar (PNPM sendiri). Akan lebih baik jika kemudian ada tawaran jeda BLM, sehingga masyarakat mempunyai waktu yang cukup untuk merefleksikan program dan kelembagaannya.
Ketiga, semakin lama BKM/LKM semakin terjebak menjadi lembaga keuangan melalui Unit Pengelola Keuangan (UPK) bersama dengan segala persoalannya. Dalam ungkapan bahasa “pinggiran”, BKM/LKM sering dianggap sebagai pengelola kredit, bahkan tukang tagih, oleh masyarakat. Barangkali penyebab salah satunya karena desain kegiatannya hanya terpaku pada tiga kegiatan (lingkungan, sosial dan pinjaman bergulir) yang sempit dan kurang kreatif.
Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, BKM/LKM seringkali terjebak persoalan teknis pinjaman bergulir, karena memang UPK sendiri sudah tidak mampu menyelesaikan masalah kredit bermasalahnya sendiri. Barangkali memang hanya kegiatan ekonomi bergulir yang masih berjalan ketika kegiatan lingkungan dan sosial sudah selesai dilaksanakan, sehingga perlu terobosan serupa.
Keempat, mendorong BKM/LKM agar mempunyai unit usaha dan pada akhirnya diharapkan mempunyai unit Badan Zakat, Infaq dan Shodaqoh (Bazis) di kelurahannya masing-masing. Unit usaha adalah kesempatan emas di masing-masing LKM/BKM bila itu dimanfaatkan, di samping chanelling dengan pihak lain—yang ternyata: hanya sebagian kecil BKM/LKM saja yang mampu melakukan itu.
Mari berkaca pada perkembangan mesjid dan pondok pesantren di masa lalu, yang nyaris tidak berkembang secara kelembagaan, karena terjebak dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan saja. Lambat laun mesjid dan pondok pesantren mampu berkembang pesat menjadi lembaga besar dan dipercaya oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena ada perubahan filosofis yang mendasar dalam kelembagaannya.
Mesjid dan pondok pesantren tidak boleh lagi hanya terpaku dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan saja. Pandangan mesjid dan pondok pesantren hanya bisa hidup dari penderma dan orang tua murid harus diubah. Mesjid dan pondok pesantren harus bisa berbuat lebih dari sebelumnya, karena keduanya juga mempunyai tanggung jawab moral terhadap kehidupan bermasyarakat, mampu mandiri mencukupi kebutuhannya sendiri, bahkan mampu mensejahterakan masyarakat di lingkungannya. Sehingga, dalam perkembangannya mesjid dan pondok pesantren mempunyai unit usaha-unit usaha untuk menopang kebutuhan sendiri dan masyarakat di lingkungannya.
Sudah seharusnya BKM/LKM sebagai lembaga sosial mampu mendorong kumpulan “nabi-nabi lokal” ini bisa berbuat banyak dengan unit usaha. Mampu menanggulangi kemiskinan dengan modal utama unit usaha. Mampu rutin menolong/menyantuni warga miskin. Dan pada akhirnya, jika BKM/LKM mampu rutin melakukannya dan pemasaran sosial yang baik maka akan terbuka lebar kepercayaan masyarakat, memberikan amanah kepada BKM/LKM untuk mengelola zakat, infaq dan shodaqoh-nya. Aamiin. Semoga bermanfaat. [Jatim]
Sumber : http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=5464&catid=2&
Dikutif :22-04-2013