Bagi Suriasih, bisa bekerja sambil kuliah di jurusan filsafat tak pernah terbayangkan dalam benaknya. Pasalnya, ia berasal dari keluarga tidak mampu. Suriasih bisa sekolah setelah jadi anak asuh Panti Asuhan Dharma Jati, Bali. “Bapak panti (I Wayan Nika) selalu mengajari jujur dan rajin,” kata Suriasih.
I Wayan Nika lahir dari keluarga petani tidak mampu. Tapi, ia selalu ingin maju. Agar bisa sekolah, Wayan Nika berjualan kayu. Lalu, untuk menjadi sarjana, ia menjadi fotografer otodidak.
Rupanya, pikiran Wayan Nika tidak berhenti pada dirinya sendiri. Melihat banyak anak lain juga tak mampu sekolah, ia nekat mendirikan panti asuhan para 1985 lalu. “Anak-anak, terutama di Bali banyak yang belum sekolah dan mereka kekurangan biaya,” ucap Wayan Nika.
Awal 1990-an, agar 30-an anak asuhnya bisa ujian bersamaan, Wayan Nika menggadai cincin pernikahan yang tidak bisa ditebus lagi. “Sekarang apa artinya perhiasan, lebih baik kita berbuat untuk manusia,” ujarnya.
Semua anak dilatih mandiri, bukan hanya dengan teori, tapi praktik. Misalnya, dengan ikut kerja bakti dan membangun rumah panti. Anak-anak panti asuhan, besar dan kecil, tahu mereka dilatih mandiri.
Wayan Nika menekankan sejumlah prinsip penting sebagai bekal hidup anak-anak. “Jadi dengan rajin dan jujur kalau mereka lanjutkan mereka akan diperlukan Bangsa Indonesia,” kata Wayan Nika.
Turis-turis Jepang biasa mampir di panti untuk bermain bersama. Tak hanya itu, mereka juga bekerja bakti, seperti memasak untuk anak-anak. Lebih dari 1.800 anak telah tumbuh melalui Panti Asuhan Dharma Jati. Semua anak, seperti cita-cita Wayan Nika, dapat kesempatan kedua untuk bersekolah.(BOG)
Sumber: Liputan6