“Muhammad Yunus” nya Ampel Boyolali
Pemenang Kedua, Kusala Swadaya kategori Motivator
Tak berlebihan kiranya ketika menyebut Bu Ning, panggilan Sri Suryatiningsih sebagai Muhammad Yunus dari Ampel Boyolali. Bu ning memiliki kepedulian untuk meningkatkan taraf hidup perempuan miskin dan tak sempat mengenyam pendidikan di desanya. Ketika Muhammad Yunus memulai memberikan pinjaman kepada 42 orang, Bu Ning mengawali karyanya dengan mengumpulkan 5 orang perempuan di sekitarnya. Sejarah mencatat Muhammad Yunus gundah melihat realitas masyarakat miskin setelah mendapatkan gelar Doktor. Sejarah masyarakat ampel mencatat Bu Ning sudah gundah melihat realitas kemiskinan masyarakat di desanya dengan hanya berbekal gelar D3 Akuntansi.
Penghujung 2001 merupakan langkah awal Sri Suryatiningsih. Bersama 5 orang perempuan pengusaha mikro atau lebih tepatnya bekerja di sektor informal seperti penjual bubur dan tempe. Kegiatan awal yang dilakukannya hanyalah arisan, simpan pinjam dan menabung. Lebih menarik lagi, ide tersebut dilahirkan dari benak Bu Ning sendiri dan tanpa ada bantuan dana ataupun pendampingan dari pihak manapun. Keberhasilan kelompok kecil tersebut membuat semakin banyak perempuan yang memiliki usaha mikro banyak yang ingin bergabung.
Gaungnya pun semakin kuat dan membuat warga dari desa lain ingin mengembangkan aktivitas yang serupa. Tak disangka pada 3 November 2003, perempuan-perempuan pengusaha yang didampingi oleh Bu Ning mendeklarasikan sebuah kelompok yang bernama Forum Peduli Perempuan Pengusaha Kecil Ampel (FP3K-A). Gaung keberhasilan FP3K-A tak dapat dibendung dan terdengar di kecamatan lainnya. Mau tak mau kegiatan FP3K-A direduplikasi di tempat lain sebagai strategi pemberdayaan perempuan pengusaha kecil. Hingga saat ini, FP3K-A sudah berkembang di 3 kecamatan dan memiliki sekitar 90 anggota. Salah satu kelompok lainnya yang terbentuk di kecamatan Boyolali bernama Forum Peduli Perempuan Pengusaha Kecil Boyolali (FP3K-B). Pemisahan kelompok menjadi strategi yang ditempuh untuk mengatur semakin besarnya anggota.
Peran FP3K-A yang demikian besarnya bagi kelompok miskin ternyata tidak menghantarkan Bu Ning menjadi pemimpin ‘revolusi’ pemberdayaan masyarakat. Jabatan Bu Ning tak lebih dari pembina dan pendamping kelompok. Bukan seperti pioner lainnya yang diangkat sebagai ketua pengurus. Kepengurusan di FPK3-A malahan mensyaratkan pengurus haruslah diangkat berdasar rapat pengurus dan calon haruslah berasal dari anggota yang memiliki ekonomi yang paling lemah. Lagi-lagi sebuah strategi cerdas dengan melakukan affirmative action agar anggota yang paling lemah menjadi berdaya dan tertinggal dengan lainnya.
Kegiatan kelompok ternyata tak hanya berhenti pada kegiatan sosial ekonomi. Menurut Bu Ning, ‘Peningkatan pendapatan pada perempuan harus sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan tingkat partisipasi perempuan’. Rendahnya pendidikan anggota tak membuatnya menyerah mengenalkan kesetaraan gender yang selalu berada di menara gading.
Anggota FP3K-A tak mengenal konsepsi kesetaraan gender sebagai penguatan peran wanita diluar ruang domestiknya. Pemahaman mereka terhadap kesetaraan gender dikenalkan melalui analogi sederhana yang dekat dengan kehidupan mereka. Jika suami memberi uang belanja minim tetapi masih saja membeli rokok. Maka sebagai seorang istri hendaknya mereka mengingatkan suami. Karena dalam uang belanja tersebut ada hak anak-anak mereka juga. Ideologi kesetaraan gender yang ditanamkan oleh Bu Ning tak membuat para istri melawan kepada suami. Namun membuat sang istri memiliki daya tawar terhadap sang suami dalam urusan ekonomi rumah tangga.
Sebuah kisah sukses lainnya, sebelum mengenal kesetaraan gender, harga jual ternak kambing ditentukan oleh sang suami. Namun setelah mereka mengenal kesetaraan gender, harga kambing ditentukan bersama sang istri. Walaupun sederhana, kisah tersebut sebuah dekonstruksi menarik terhadap struktur pemikiran domestifikasi peran perempuan dalam rumah tangga.
Keberhasilan gerakan perempuan tersebut sempat berpuncak dengan mendorong adanya dialog publik dalam pemilihan kepala desa. Sebuah usulan yang tidak menganut pakem politik desa yang konvensional. Alhasil, berbagai usulah perempuan-perempuan yang telah melek politik tersebut mendapat ganjalan dari aparatur desa.
Ganjalan lainnya juga berasal dari aparatur pemerintah yang sempat memata-matai aktivitas FP3K-A. Ada ketakukan dari pemerintah jika gerakan perempuan tersebut akan menentang aparatur desa. Muncullah berbagai intimidasi seperti harus ada ijin dari aparat desa ketika ingin membentuk sebuah kelompok di desa. Salah satu isu lainya yang sempat berkembang adalah pembuatan akta Kelahiran gratis dalam brosur yang diedarkan pemerintah. Namun, ketika ibu-ibu tersebut mencoba mengurus akta kelahiran masih banyak pungutan dari pengurus RT hingga Kecamatan.
Keberhasilan tersebut membuat banyak pihak mulai melirik kelompok yang didampingi oleh Bu Ning sebagai target pasar bagi kredit Mikro. Tak kurang dari BRI dan beberapa perbankan kecil lainnya ingin menawarkan kredit kepada FP3K-A. Kredit BRI yang membutuhkan jaminan terpaksa ditolak. Penolakan juga sempat dilakukan terhadap tawaran datang dari oknum pejabat yang menawarkan kredit ringan namun harus ada ‘bagian/jatah’ bagi mereka.
‘Sepi ing Pamrih Rame Ing Gawe’ agaknya menjadi prinsip utama dalam karya-karya pemberdayaan yang dilakukan oleh Bu Ning. Keberhasilan kelompok tak membuatnya menjadi pemimpin revolusi yang jasanya selalu dikenang. Malahan perempuan dengan ekonomi lemah yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi menjadi motor bagi pemberdayaan kelompok mereka sendiri. Pantaslah Sri Suryatiningsih dengan karyanya selama 6 tahun digelari Muhammad Yunus dari Ampel Boyolali.