Johanes Baptista Dijkstra, SJ dilahirkan di kota Amsterdam, Negeri Belanda, pada tanggal 26 Oktober 1911. Orang tuanya seorang pengusaha mantel wanita dengan toko yang terletak tak terlalu jauh dari rumahnya. Tiab sabtu sore toko ini sudah mulai ramai, lebih ramai dari hari-hari biasa, dan Dijkstra kecil bersama delapan orang saudaranyapun ikut sibuk membantu orang tuanya. Ayah Jo meninggal pada usia agak muda, 50 tahun. Salah seorang kakak Jo kemudian meneruskan usaha ini, termasuk melanjutkan pendidikan adik-adiknya.
Jo yang merupakan anak ke-5 dari 9 bersaudara dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi seorang administratur pabrik gula tebu di Pulau Jawa. Itulah sebabnya setamat dari MULO (setingkat SMP) Jo dimasukkan ke MTS (semacam STM). Disini Jo digembleng untuk menjadi teknisi pabrik gula. Dia mempelajari mesin diesel, menggambar pabrik, dan lain-lain. Disekolah ini banyak juga terdapat anak-anak ‘indo’ dan peranakan Indonesia yang juga belajar untuk menjadi ‘administratur’.
Agar nantinya tidak canggung berhadapan dengan para buruh di pulau Jawa, murid-murid MTS sejak dini diberi pelajaran bahasa Melayu dan Jawa. Salah seorang guru Jo adalah Pak Nimpuno. Guru ini bukannya mengajar bahasa Jawa halus, melainkan bahasa ‘ngoko’ (kasar), termasuk maki-makian seperti ‘bajingan’, ‘sinting’, ‘kebo’, dan lain-lain. Disekolah inilah Jo mulai aktif dalam Organisasi Siswa Katolik. Sebuah pengalaman yang nantinya sangat berguna bagi tugas-tugasnya setelah menjadi pastor di Indonesia. Pendidikan di MTS termasuk keras dan tidak mengenal hari-hari libur. Selain belajar teori, para murid juga harus berpraktek membuat mesin diesel yang memang banyak digunakan untuk menggerakkan pabrik-pabrik penggilingan tebu di pulau Jawa. Jo kecil sebenarnya merasa tidak cocok dengan pendidikan ini. Dia lebih banyak tertarik ke sepak bola dalam klub sekolah. Pernah pada hari raya Jumat Suci, dia bukannya ke gereja melainkan malah main bola untuk kompetisi anak sekolah. Agar orang tuanya tidak marah, terlebih dahulu sepatu bola diselundupkan keluar.
Setamat dari MTS, Jo remaja tidak berangkat ke pulau Jawa melainkan belajar bahasa Latin dan Yunani agar bisa melanjutkan sekolahnya ke kelas lima dan enam. Setelah itu, dia masuk Gymnatium untuk belajar bahasa, budaya dan sejarah. Bagi Jo, sekolah budaya ini dianggap sebagai ‘anti racun’ yang dapat membersihkan jiwanya dari pengaruh pendidikan di MTS yang dirasakan tidak cocok dengan dirinya.
Setamat dari Gymnatium tahun 1933, Jo masuk Ordo Jesuit. Setelah selama setahun ‘novisiat’, Jo remaja berangkat ke Pulau Jawa, sebagai Frater bersama Petrus Willekens, SJ, calon uskup Batavia, (Jakarta). Perjalanan Amsterdam – Jakarta waktu itu masih ditempuh selama sekitar tiga minggu dengan menggunakan kapal laut. Itupun kalau kapalnya lewat terusan Suez. Kalau lewat Tanjung Harapan bisa makan waktu lebih dari sebulan. Sesampainya di Jawa, Jo ditempatkan di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah selama dua tahun. Kemudian dia masuk novisiat lagi untuk memperdalam bahasa dan budaya Melayu serta Jawa. Kali ini dengan tujuan yang jauh berbeda dari waktu dia mempelajari bahasa Jawa di MTS dulu.
Tahun 1936 Jo Dijkstra pindah ke Kolose Kanisius di Yogyakarta. Selain belajar filsafat di kota budaya ini, dia menjadi guru. Murid-muridnya antara lain Romo Prayitno, Romo Martinus Oey, dan Romo Dick Hartoko. Pada tahun 1939 Jo pindah ke Kolose Kanisius Jakarta. Tak lama kemudian, Jepang masuk ke Indonesia. Di depan sekolah Kanisius di Menteng inilah Jo dan para pastor menonton balatentara Jepang berbaris dengan langkah tegap.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Jo sempat belajar Teologi selama setengah tahun di Yogyakarta, sebelum kemudian diinternir di Muntilan bersama Frans Seda. Dari muntilan ia dipindah ke Salatiga sebentar kemudian dipindah ke Bandung. Sebagai seorang interniran semangat Jo dan frater-frater lain tetap menyala. Di Bandung ini mereka berusaha untuk disatukan dengan para profesor teologi agar tetap dapat melanjutkan belajar.
Kendala yang dihadapi adalah bagaimana memasukkan buku-buku teologi berbahasa latin itu ke penjara. Terpaksalah mereka membohongi tentara Jepang. Mereka mengatakan bahwa buku-buku itu diperlukan untuk berdoa dan masing-masing pastor atau frater yang jumlah seluruhnya 300 orang itu harus punya satu agar dapat berdoa. Petugas Jepang pun kena dikibuli dan membiarkan buku-buku itu masuk interniran.
Selam di Bandung, Frater Jo menyaksikkan banyak pastor dan interniran mati karena kelaparan atau sakit. Jo sendiri mengalami diare selama seminggu karena hanya makan wortel. Tahun 1945 saat Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya, fisik Jo justru melemah karena tidak dapat mengimbangi semangatnya. Dia sakit. Selama sakit inilah Jo merasa sangat berhutang budi kepada Bu Moelyono (ibu dari Prof. Dr. Anton Moelyono) yang banyak menolongnya. Pada tahun-tahun ini pulalah dia mendapat berita bahwa kakak kandungnya, Karel Dijkstra, pastor di Panguruan, Samosir, Tapanuli, meninggal dunia dalam interniran di Medan.
Oleh Mgr. Soegijapranata, frater-frater yang kurus karena diinternir diminta untuk kembali ke Bintara di Yogyakarta. ‘Disana sudah ada tiga ekor sapi’, kata Monsiqneur pada waktu itu. Karena situasi belum aman, frater dan pastor Belanda itu kemudian justru disembunyikan di penjara Wirogunan selama dua minggu. Badan Jo yang kurus itu habis dihisap oleh ’tinggi’ (kutu busuk). Dari Wirogunan, Jo disembunyikan lagi di pabrik gula Pundong, Bantul. Disinilah untuk pertama kalinya, Jo, lulusan MTS pabrik gula itu merasakan ‘suasana’ pabrik gula. Bukan sebagai administratur melainkan sebagai frater Belanda yang disembunyikan di masa revolusi fisik.
Tahun 1946, saat revolusi fisik mulai berkecamuk di Indonesia, Jo Dijkstra kembali ke negeri Belanda. Selama dua tahun dia melanjutkan belajar teologi di Maastricht. Di kota ini dia dapat belajar secara normal tidak seperti pada saat digembleng oleh para profesor teologi dalam interniran di kota Bandung. Di kota ini pada tahun 1947, Frater Jo ditahbiskan menjadi Imam Jesuit setelah sebelumnya kembali masuk novisiat di Drongen, Belgia.
Tanggal 4 September 1949, tepatnya dua tahun setelah ditahbiskan menjadi imam Jesuit, Pastor Jo kembali menginjak bumi Indonesia yang kini sudah merdeka. Kala itu beliau mendapat kertas kecil dari Pater Superior Gaspar de Quay, yang bertuliskan: ‘Kamu mulai saja dengan karya sosial ekonomi di antara rakyat. Saya tahu kamu senang demikian.’ Sesampainya di Tanjung Priok, dia kebingungan. Surat yang dimilikinya adalah surat boleh mendarat. Sementara petugas pelabuhan justru minta surat untuk meninggalkan kapal. Untung pada waktu itu ada seorang Bruder yang menjemputnya. Bruder itulah yang membawa surat penugasan, meskipun belum sempat membuka dan membaca isinya. Ternaya dia ditempatkan di Binataran, Yogyakarta bersama dengan Romo Danu, Pr. Di Binataran inilah kemudian Pater Dijkstra menjadi warga negara RI. Prosesnya waktu itu sangat mudah.
Masa itu adalah masa sulit bagi Pater Jo untuk memahami tugas ‘ajaib’ dari Pater Quay. Dia tidak tahu bagaimana mengembangkan dan memadukan visi, semangat, dan iman Yesuit ke dalam karya sosial ekonomi dan ke dalam lembaga-lembaga pendukung untuk kepentingan rakyat Indonesia. Setelah tiga tahun bertugas di Bintaran, Pater Jo diajak Mgr. Soegijapranata untuk menjadi sekretaris Uskup di Semarang. Pater Jo masih bingung dan belum dapat memahami harus bagaimana dengan kerasulan sosial. Baru pada tahun 1955, setelah diangkat jadi Sekretaris Panitia Sosial Waligereja Indonesia, Pater Dijkstra mulai dapat sedikit-sedikit mengerti apa yang harus dilakukan untuk karya sosial ekonomi.
Pater Jo Dijkstra menjadi lebih memahami tugas itu setelah kemudian Pater Jo kenal dengan ‘bajingan-banjingan’ kerakyatan, tokoh-tokoh Gerakan Pancasila seperti Bapak Sarman, Bapak Sayoga Soemaorawiro, Bapak Gito Martojo, Bapak Tarmono, Bambang Ismawan, dan lain-lain yang Pater Jo lupa namanya. Bersama mereka itu Pater Dijkstra kemudian banyak bergerak di kegiatan sosial ekonomi untuk rakyat. Meski orang menganggap Pater Jo cukup berhasil, namun sebenarnya beliau merasa telah gagal menalankan tugas ajaib dari Pater Gaspar de Quay. Pertama, karena sikap dan tindakan Pater Jo sering tidak direstui atasan dan sulit dipahami oleh teman-teman seperjuangan. Kedua, banyak lembaga-lembaga yang tumbuh tetapi lupa akan akarnya, yaitu lebih banyak sibuk berjuang untuk kepentingan institusi itu sendiri dibanding memperjuangkan rakyat kecil yang seharusnya dibela. Lebih dari itu, Pater Jo merasa masih belum berhasi belajar dari rakyat tentang musyawarah, terlebih Pater Jo merasa telah gagal untuk mamahami iman polos mereka.
Tahun 1952, Pater Dijkstra dipindahkan ke Semarang menjadi Pastor Kepala di Paroki Gedangan, sekaligus menjadi Sekretari Uskup Semarang. Tahun 1954 di Semarang diselenggarakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI). Salah satu keputusan kongres ini adalah perlunya membentuk suatu gerakan sosial ekonomi yang bersifat umum, tidak berafiliasi dengan Partai Katolik, dan merupakan perwujudan iman dan kepedulian terhadap kaum miskin.
Tahun 1955, Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) membentuk Panitia Wali Gereja Indonesia (PWI) bidang sosial. Mgr. Soegijapranata terpilih menjadi ketuanya, Jo Dijkstra sebagai sekretaris. Di Keuskupan Agung Semarang sendiri dibentuk Biro Sosial dibawah Panitia Sosial. Tahun 1956 Jo Dijkstra pindah dari paroki Gedangan ke Paroki Randusari, masih di Semarang.
Selama hampir 20 tahun (1952-1971) Dijkstra tinggal di kota Semarang, menjadi motivator atau inspirator dari buah gerakan swadaya masyarakat di bidang sosial ekonomi. Bertolak dari keputusan KUKSI, Dijkstra ikut membidani lahirnya Gerakan Pancasila yang tidak berafiliasi dengan Partai Katolik dan bersifat umum.gerakan ini sempat melahirkan Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Petani Pancasila, dan Ikatan Para Medis Pancasila. Nama Pancasila sengaja digunakan untuk menegaskan bahwa gerakan ini bersifat umum tanpa ikatan primordial.
Saat itu Jo Dijsktra sebagai ‘tangan kanan’ Mgr. Soegijapranata, banyak diserang baik dari kalangan non Katolik maupun dari kalangan Katolik sendiri. Banyak yang menganggap bahwa gerakan Pancasila hanyalah sekedar gerakan kamuflase dari katolik yang minoritas. Dengan tegas Dijkstra menjawab bahwa gerakan Pancasila adalah gerakan ‘iklas’. Selain istilah ‘Pancasila’ yang ada tahun 1950-an kedengaran menentang arus, dijkstra juga membentuk Pilot Project Aksi Puasa Pembangunan (APP). Uang yang terkumpul kemudian digunakan untuk membantu kegiatan ‘wong cilik’. Istilah ‘pembangunan’ sendiri di tahun 1950-an masih sangat asing.
Tokoh-tokoh yang bergerak bersama Jo Dijkstra pada kurun waktu itu adalah tokoh-tokoh Gerakan Pancasila, antara lain M. Slamet, Supirman, Sitompul, P. Gitomartojo, P Mulyadi, Nico Susilo, dan Bambang Ismawan. Gerakan Pancasila sendiri kemudian berpindah markas ke Jakarta. Ikatan Petani Pancasila (IPP) pada tahun 1967 membentuk Yayasan Sosial Tani Membangun (YSTM) yang pada tahun 1969 menerbitkan majalah Trubus. Gerakan Pancasila, pada kurun waktu itu paling banyak mendapatkan tantangan dari PKI. Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 72/1964 yang isinya antara lain mengharuskan kegiatan suatu organisasi massa mencakup/sampai ke seluruh propinsi di Indonesia. Keppres ini merupakan upaya PKI yang waktu itu pengaruhnya sangat besar, agar organisasi yang tidak sealiran dengannya bubar. Itulah sebabnya Gerakan Pancasila berusaha agar kegiatannya mencakup/sampai ke 26 Propinsi di Indonesia, hingga tidak sempat dibubarkan oleh Keppres produk PKI itu.
Gerakan Pancasila akhirnya melebur ke dalam organisasi, sesuai dengan ketentuan pemerintah. Ikatan Buruh Pancasila masuk ke FBSI (sekarang SPSI). Ikatan Petani ke HKTI, dan Ikatan Nelayan ke HNSI. Ini terjadi pada tahun 1973. Sebelumnya, pada tahun 1971 Jo Dijkstra meninggalkan kota Semarang yang sudah menjadi ‘kampung halamannya’ dan terbang ke Manila. Disanalah Dijkstra mendapat tugas menjadi Sekretaris SELA (Socio Economic Live in Asia / Organisasi Sosial Ekonomi Jesuit Asia).
Dari Manila, Pater Dijkstra seperti petani yang mendapatkan lahan lebih luas di areal transmigrasi. Gerakan keswadayaan di bidang sosial ekonomi untuk membantu wong cilik tanpa ikatan primordial ini ia kembangkan ke kawasan Asia dengan penyelenggaraan DHRRAW (Development of Human Resources in Rural Asia Workshop) tahun 1974, di Bangkok, Thailand. Dalam workshop ini, lahirlah gagasan untuk membentuk CENDHRRA (Center for the Development of Human Resources in Rural Asia) di thuan 1975. Dan tahun berikutnya dibentuk INDHRRA (Indonesia), MASDHRRA (Malaysia), THAIDHRRA (Thailand) dan lain-lain.
Di Indonesia INDHRRA kemudian lebih dikenal sebagai Sekretariat Bina Desa. Dalam CENDHRRA dan beberapa DHRRA di beberapa negara Asia, sebenarnya Dijkstra kembali kepada konsep gerakan Pancasila yang non primordial karena tidak lagi menjadi gerakan Jesuit/Gereja Katolik. Kalau pastor-pastor lain mungkin takut untuk datang ke Filipina Selatan yang mayoritas beragama Islam dan waktu itu sedang bergolak menuntut otonomi, Dijkstra dengan tenang datang kesana dengan ucapan Assalamualaikum. Keyakinan untuk meletakkan gerakan sosial ekonomi non-primordial tetap dipegangnya teguh.
Tahun 1977, Dijkstra pulang kampung. Namun kali ini, tugas memaksanya untuk tinggal di Jakarta, di Jl. Purwakarta 7. Dia diberi pekerjaan sebagai Sekretaris MASRI (Majelis Antar Sarekat Religius Indonesia) yang sebelumnya bernama Konggar (Kongres Antar Religius) dan sekarang bernama KOPTARI (Konfrensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia).
Di saat usia 79 tahun (1987), dia akan ‘dimasukkan’ ke rumah jompo di Girisonta. Tetapi, dia ngotot melawan atasan dan tidak mau dikirim ke Girisonta. Mungkin sebagai hukuman, dia akhirnya ‘dibuang’ ke Seminari Tinggi St. Petrus, Sinaksak, Pematang Siantar, Sumatra Utara, untuk mendampingi para frater calon Imam Projo. Hukuman ini tetap menyenangkan, karena dengan demikian dia pulang ke ‘kampung’.
Tahun 1969, dia ke Tapanuli untuk menghadiri pemakaman kembali kakak kandungnya, Pater Karel Dijkstra, yang meninggal tahun 1944 dalam interniran Jepang. Karena beliau adalah Pastor pertama yang bertugas di Samosir, maka masyarakat pulau itu minta agar jenasah kakaknya yang telah dimakamkan di Medan, dipindahkan di Samosir engan upacara Batak yang sangat meriah. Waktu Dijkstra datang, para tokoh Katolik Samosir kaget karena mengira Karel Dijkstra hidup lagi, sebab wajah mereka berdua memang mirip sekali! Setelah dia meyakinkan mereka bahwa dia adalah adik Karel Dijkstra, maka mereka kemudian mengangat Pater Jo Dijkstra menjadi warga kehormatan suku Batak dengan marga Tampubolon.
Mungkin karena ‘rapornya’ di Sinaksak bagus sehingga pada bulan Juni 1991 Jo Dijkstra kembali ke Jakarta dan mendapat tugas baru persis seperti tahun 1949 turun dari kapal di Tanjung Priok, yakni tugas Kerasulan Sosial. Jabatan di Kanisius kali ini adalah sebuah jabatan ajaib, yakni ‘Kerasulan Sosial Bebas’. Mungkin sebuah sebutan halus untuk tidak mengatakan ‘jompo’. Dalam setiap kesempatan, dia selalu mengatakan dirinya sudah ‘jompo’, namun semangatnya untuk mengangkat harkat dan martabat wong cilik tetap menggebu, bahkan mengalahkan mereka yang masih muda-muda. Istilah-istilah kasar ajaran Pak Nimpuno lebih dari 60 tahun yang lalu, seperti ‘bajingan’, ‘sinting’ tetap masih sering dia lontarkan. Tentu, istilah-istilah itu tidak ditujukan untuk membentak para buruh di pabrik gula. Makian-makian itu biasanya beliau gunakan untuk bercanda.
Meskipun pernah menduduki jabatan tinggi Gereja Katolik di tingkat nasional maupun Asia, penampilannya tetap sederhana dan pantas dicontoh. Kemejanya selalu terkesan lusuh, celana kedodoran, dan dalam usianya yang waktu itu menjelang 90 tahun, ia tetap merokok tembakau yang dilinting sendiri. Tembakau inilah yang sekitar 35 tahun silam pernah membuat Sungardi, supir Biro Sosial Keuskupan Agung Semarang kerepotan. Pak Ngardi terpaksa harus bolak-balik Surabaya“ Tretes (Malang) sekedar untuk mengambil tembakau Pater Dijkstra yang ketinggalan disana.
Pater Dijkstra pernah mengatakan, “Sebenarnya saya ingin mati seperti Pak Sarino atau Soedjatmoko, atau Romo Mangun hingga tidak perlu menjadi benar-benar jompo lalu dirawat suster-suster yang galak, tetapi itu terserah Tuhan.” Saat ini, yang tertinggal dari Pater Dijkstra adalah spiritualitasnya akan pengabdian penuh terhadap wong cilik. Satu ayat kitab suci yang selalu membakar semangatnya adalah “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya” – (Yes 42:3, Mat 12:20). Kutipan ini melukiskan bahwa Tuhan tidak pernah melupakan seseorang, sekecil atau selemah apapun dia. Melainkan orang-orang yang seperti itu harus dilihat sebagai sumber potensi yang belum tergali, sehingga sewajarnyalah kita sebagai orang yang memiliki kelebihan, membantu mengangkat potensi orang-orang yang tersisihkan seperti itu.