Beban ganda seorang perempuan karena menyandang berstatus sebagai ibu rumah tangga dan pekerja pada masa sekarang bukan lagi hal yang langka. Beberapa diantaranya terjadi karena alasan untuk menopang kebutuhan hidup keluarga yang harus berkejaran dengan laju kenaikan harga. Sementara yang lain, dikarenakan keinginan untuk menambah pengalaman dalam bidang sosial dan aktualisasi diri. Mardyastuti adalah satu di antara sekian banyak perempuan yang harus menjalani ‘kehidupan ganda’ sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja.
Mardyastuti bergabung sebagai pendamping masyarakat di Bina Swadaya sejak pertengahan 1980-an. Jauh sebelum menjadi pendamping di wilayah Gugus Wilayah Klaten, Mardyastuti juga pernah bergabung dengan Panitia Usaha Sosial Bina Sejahtera Klaten dan Yayasan Sosial Bina Sejahtera Cilacap sebagai pendamping untuk kegiatan peningkatan pendapatan keluarga.
Sebagai ibu rumah tangga, Mardyastuti merasa harus banyak belajar mengenai manajemen waktu. Melakukan tugas rutin sebagai pendamping, mengasuh dan mendidik anak, serta melayani suami merupakan 3 tugas utama yang harus diembannya secara bersamaan. “Susah rasanya meninggalkan anak, apalagi bapaknya bekerja di luar kota dan pulangnya seminggu sekali. Belum lagi, pas anak sedang menjalani ulangan umum dan padatnya kegiatan kantor,” tandasnya. Itulah mengapa ia tertarik bergabung di Bina Swadaya. Salah satunya karena lokasi kantor yang dekat dengan rumah. Tidak terpikir untuk mencari pembantu rumah tangga? Mardyastuti beralasan, “Untuk efisiensi, semuanya kucoba kerjakan sendiri. Meski terkadang kepala harus jadi kaki dan kaki jadi kepala.”
Sebagai seorang pendamping masyarakat, dalam kesehariannya Mardyastuti harus bergumul dengan warga masyarakat dampingan yang tergabung dalam kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM), menghadiri pertemuan kelompok, dan memfasilitasi pelatihan untuk penguatan kelompok. Tak jarang kegiatan lapangan tersebut menyita waktu hingga ia harus pulang larut malam atau bahkan bermalam di salah satu anggota kelompok. “Problem yang dihadapi seorang perempuan yang bekerja di lapangan adalah keamanan,” kata ibu yang harus merayakan ulang tahun ke-46 bulan lalu di Ambon berbarengan dengan tugas memfasilitasi pelatihan bersama tim Pusdiklat Bina Swadaya. “Pernah aku harus ngeret-ngeret perangkat desa untuk mengantarkan hingga ke dekat batas kota, karena hari sudah malam dan wilayahnya tergolong rawan.”
Meskipun memiliki pekerjaan yang menuntut banyak waktu di lapangan, sang suami, Petrus Lede Malo, memandang positif kegiatan Mardyastuti. “Suami selalu memberi masukan apabila aku menghadapi masalah di lapangan. Kan dia orang LSM juga. Malah, kadang-kadang sok-sokan juga mau bantuin bikin laporan,” ungkap Mardyastuti yang disambung tawa lepasnya yang hangat.
Bagaimana dengan putri tunggalnya, Melati Octavia Malo yang kini berusia 13 tahun? Sikap dan perilaku Mardyastuti sebagai pendamping yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan tampaknya telah “menurun” ke anak semata wayangnya itu. “Mella pernah melihat anak cowok yang nggodain teman perempuan di sekolahnya. Ia langsung bilang padaku, “Mama, di sekolahku belum berlaku kesetaraan gender, lho! “. Mardyastuti bahkan juga pernah harus membawa anaknya bermalam di lokasi pendampingan. Namun, ia tetap mengupayakan agar kehadirannya di tengah keluarga tidak berkurang meski banyak waktu tersita di lapangan. “Yang penting bukan lamanya, melainkan kualitasnya,” tegasnya.
Mengacu pada pengalaman panjangnya sebagai pendamping dan kepekaan sebagai seorang perempuan, Mardyastuti merasakan, bahwa masyarakat dampingan memerlukan sentuhan yang lebih dalam. Sebuah sentuhan yang tidak sekadar berupa pendekatan kredit. Sebagai contoh, penggemar mie godog (rebus) Jowo ini mendampingi di daerah yang mayoritas warganya buruh industri rumah tangga. “Belum ada perlindungan sosial bagi perempuan yang menjadi buruh rumahan. Misalnya kontrak kerja, jaminan kesehatan, atau upah yang layak,” paparnya. Harapan Mardyastuti, dengan masuknya Guswil Klaten dan 11 guswil lainnya di bawah koordinasi PKP, yang akan menggagas kegiatan Bina Swadaya di bidang kajian, advokasi, dan business development service, maka area tersebut dapat dirambah secara lebih intensif. “Tentunya harus diawali dengan keberanian untuk melakukan perubahan pola pikir, perilaku, dan sikap dalam menghadapi tantangan baru bagi para pendamping Bina Swadaya.” (ditto)