Arah, Semangat dan Relevansi Pada Masa Sekarang [1]
Oleh Bambang Ismawan[2]
Barangkali dialog singkat berikut menarik disimak untuk memahami arah dan semangat kaderisasi ala Pater Dijkstra. “What are you doing John?” tanya seorang sahabat Jesuit (saya lupa namanya) berasal dari Amerika Serikat yang tinggal di Korea Selatan yang baru saja menerima Magsaysay Award karena telah mengubah Pulau Jeju yang miskin menjadi sejahtera berkat proyek pengembangan peternakan rakyat yang membahana. Jawab Pater Dijkstra enteng “nothing“. Jawaban itu mencengangkan yang bertanya dan yang mendengar. “Masak…? bagaimana mungkin mengembangkan karya sosial ekonomi yang merambah luas di Asia Timur tanpa upaya serius?” desak Pater Jesuit Amerika itu. “Iya betul, bukan saya yang bekerja keras tetapi teman2 ini yang berasal dari Thailand, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, Taiwan, Jepang, Korea dan lain-lain, mereka itulah yang bekerja. Saya mungkin menginspirasi, secara moral mendukung dan menguatkan semangat mereka, tetapi merekalah yang mengambil inisiatif dan tanggung jawab”. Ungkap Pater Dijkstra sambil menunjuk para peserta yang hadir pada lokakarya.
DHRRAW Bangkok
Dialog itu terjadi di Seoul Korea Selatan, Juni 1976, pada saat jedah dari acara CENDHRRA Asian Workshop on Integral Human Development. Lokakarya ini adalah salah satu dari seri (6) lokakarya yang diselenggarakan CENDHRRA selama 3 tahun berpindah-pindah lokasi negara, diantaranya 2 kali diadakan di Indonesia. Integral Human Development sebagai thema pokok dibahas melalui berbagai fokus, antara lain berhubungan dengan produksi, pendidikan dan latihan, agama dan budaya, pemuda dan wanita, teknologi dan lembaga. CENDHRRA (Center for the Development of Human Resources in Rural Asia) adalah suatu Badan yang didirikan untuk mengelola kegiatan tindaklanjut dari DHRRAW (Development of Human Resources in Rural Asia Workshop) yang terselenggara selama 3 minggu di Bangkok, Agustus 1974, diikuti 150 aktifis dan pemikir pembangunan perdesaan Asia-Pasifik. Inilah salah satu karya besar Pater Dijkstra yang merupakan awal kebangkitan masyarakat sipil secara terorganisasi di Asia Pasifik mengambil tanggung jawab untuk peningkatan keberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Sejak saat itu bermunculan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Asia Pasifik termasuk Indonesia. Workshop Bangkok ini juga merupakan reaksi terhadap perkembangan di Indonesia setahun sebelumnya (1973) ketika Pemerintah melebur organisasi-organisasi buruh, petani, nelayan dan lain-lain masing-masing menjadi satu organisasi saja yaitu SPSI (buruh), HKTI (petani), HNSI (nelayan). Kebijakan Pemerintah tersebut mengakibatkan bubarnya Gerakan Pancasila.
Gerakan Sosial Ekonomi Pancasila
Karya besar sebelumnya adalah Gerakan sosial Ekonomi Pancasila yang terdiri dari Organisasi Buruh, Petani, Nelayan, Usahawan dan Paramedis (berdiri tahun 1950-an). Gerakan Pancasila mendapatkan legitimasi dari Gereja, ketika Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) ke 2 di Semarang (1954) memutuskan untuk mendukungnya. Kelak setelah terselenggaranya Konsili Vatikan ke 2 yang medorong Gereja “membuka pintu dan jendela agar angin segar dari luar bertiup masuk”, banyak orang mengatakan bahwa dengan putusan KUKSI ke 2 itu Gereja Katolik Indonesia telah mendahului Konsili Vatikan. Karya besar ini tak pelak lagi berkat dukungan tokoh besar Mgr. Soegijapranata SJ, Uskup Agung Semarang. Pater Dijkstra menjadi Sekretaris Uskup Semarang itu pada 1952-1956 kemudian menjadi Sekretaris Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dengan Mgr Soegijapranata SJ sebagai Ketua Komisi (sampai wafat 1963), dan Pater Dijkstra tetap menjadi Sekretaris sampai 1971. Efektifitas kerjasama mereka mungkin karena kimianya sama, namun juga karena arah dan semangat yang sama juga. Ungkapan terkenal Mgr. Soegijapranata adalah “menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia”, berarti kalau 100% Indonesia adalah 100% Pancasila. Ketika Mgr. Soegija memberi sambutan pada Konferensi Pembentukan Ikatan Petani Pancasila (Desember 1959) para peserta konferensi sedemikian bergembira dan mohon kepada Monsinyur agar berceramah lanjut tentang pendidikan kader petani. Mgr. Soegijapranata mengatakan “Bukan tugas saya, itu tugas kalian, silahkan kalian menyusunnya bersama.” sambil meninggalkan tempat konferensi. Pater Dijkstra mengatakan bahwa tindakan itu sangat tepat karena bidang pengembangan sosial ekonomi adalah tugas khas kaum awam.
Kaderisasi
Suatu ketika Pater Dijkstra berkata “be careful with kaderisasi”, terutama yang dilaksanakan secara teknis standard. Pengkader berusaha “turun” dan si kader berusaha “naik”, tetap saja ada celah misunderstanding yang berbahaya dalam aplikasi. Meski demikian ketika menjabat Sekretaris Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) beliau mendukung berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan seperti PTPM (Pelatihan Tenaga Penggerak Masyarakat) di Yogyakarta, Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) di Salatiga, Kursus Sosial Ekonomi Desa (KSED) di Bandungan dan Kursus Perkembangan Desa (KUPERDA) di Bogor. Rupanya beliau menganggap diklat-diklat tersebut sebagai formation awal, dan kaderisasi sejatinya harus disertai dengan pendampingan. Yaitu dengan bertemu kader di lapangan, meningkatkan kapasitas mereka seoptimal mungkin kemudian menghubungkan yang satu dengan yang lain, dengan sekali-sekali mengumpulkan mereka untuk berbagi pengalaman dan berefleksi bersama. Proses itu tidak akan menimbulkan celah misunderstanding karena pengembangan dilakukan “dari dalam” kader dan karyanya sendiri.
Dalam buku Menjadi Garam Dunia Sejati (Yayasan Bhumiksara Jakarta, 2006), Pater Dijkstra berujar: “Dewasa ini cukup banyak gerakan yang muncul baik di dalam maupun diluar lembaga Gereja kita. Rupanya gerakan-gerakan itu muncul begitu saja dari swadaya mereka sendiri. Namun kita percaya Roh Tuhan pasti ada di dalamnya. Karena itu sedapat mungkin gerakan-gerakan itu didukung oleh hierarkhi dan tidak perlu selalu dikemudikan oleh lembaga Gereja”.
Relevansi
Sebagai penerus Gerakan Sosial Ekonomi Pancasila, Bina Swadaya sangat menghargai semangat dan arah gerak pengembangan sosial ekonomi Pater Dijkstra dan Mgr. Soegijapranata. Aplikasinya dilapangan berupa pembentukan kelembagaan komunitas basis yang disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang solid secara sosial ekonomi dan berkembang dalam otonominya masing-masing. Para pemimpin kelompok basis dilatih dan didampingi ke arah kemandirian dan didorong untuk bekerjasama diantara mereka dan para pemangku kepentingan lain, pemerintah, swasta dan organisasi-organisasi masyarakat setempat. Sehubungan dengan ini Bina Swadaya mengembangkan dua program pelatihan yaitu : Tenaga Pendamping Kelompok Swadaya Masyarakat (TPKS) mulai 1979 dan Pelatihan Manajemen Pengembangan Swadaya Masyarakat (PSM) mulai 1985. Pelatihan TPKS dimaksudkan untuk pengkaderan pendamping, sedangkan pelatihan Manajemen PSM dimaksudkan untuk pengkaderan pimpinan LSM.
Materi pelatihan TPKS antara lain : Dasar-Dasar Kelompok, Adminitrasi Keuangan, Adminitrasi Organisasi, Simpan-Pinjam, Wirausaha Kecil, Ekonomi Rumah Tangga, Participatory Rural Appraisal, dan Training of Trainer. Materi Pelatihan Manajemen PSM antara lain : Kepemimpinan, Perencanaan Strategis, Manajemen Keuangan, Manajemen Keswadayaan, Pengembangan Diri, Pemberdayaan Masyarakat, Participatory Rural Appraisal, Wirausaha Kecil, dan Recana Tindak Lanjut. Hingga kini jumlah alumnus dari dua program pelatihan tersebut mencapai 20 ribu orang lebih.
Pada suatu masa Bina Swadaya pernah memiliki 23 kantor cabang Bina Swadaya yang disebut dengan istilah Gugus Wilayah/Guswil (kini telah bertransformasi menjadi Koperasi) dengan jumlah KSM dampingan sebanyak 3 ribu KSM. Namun ketika bekerjasama dengan pihak lain, baik pemerintah, LSM mitra, dan lembaga donor internasional Bina Swadaya mampu melahirkan lebih dari 1 juta KSM yang beranggotakan 25 juta keluarga dan menjangkau sekitar 100 juta jiwa.
Mengantisipasi dinamika lingkungan yang terus berubah, tantangan aktual yang kita hadapi, bahwa masyarakat perlu dilibatkan secara langsung dalam upaya-upaya peningkatan keberdayaan masyarakat. Kini tidak dimungkinkan lagi kita mengembangkan jutaan KSM dengan bantuan lembaga donor ataupun pemerintah. Maka pendidikan kader masa depan untuk peningkatan keberdayaan masyarakat perlu diarahkan melalui Gerakan Keberdayaan Masyarakat Berkelanjutan.
Berdasarkan pengalaman di Bina Swadaya bekerjasama dengan pemangku kepentingan, Pemerintah dan sektor bisnis, direkomendasikan perlunya gerakan yang melibatkan masyarakat, yaitu Gerakan Keberdayaan Masyarakat Berkelanjutan. Dalam rangka menggerakkan hal itu terdapat sejumlah fungsi yang terkait, yaitu Komunitas Basis, Lembaga Pengembangan Masyarakat, dan Lembaga Pelayanan Sumberdaya atau service provider. Lalu diperlukan sebuah badan yang berfungsi mensinergikan berbagai lembaga yang ada, sebut saja Bina Mitra Sumberdaya.
Dalam interaksi fungsi-fungsi keberdayaan masyarakat masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:
Komunitas Basis berperan sebagai lembaga pengelola program yang dijalankan dengan partisipasi penuh di masyarakat (Community Based Organization, Kelompok Swadaya Masyarakat, Kelompok Adat, Koperasi Primer, Credit Union, dll).
Lembaga Pengembangan Masyarakat, merupakan pendamping dan pengembang keberdayaan masyarakat. Mereka adalah Pengurus dan Penggerak Ormas & LSM, misalnya Ormas dan LSM Pertanian, Ormas dan LSM Nelayan dan Kelautan, Ormas dan LSM Perburuhan, Ormas dan LSM Wanita, Ormas dan LSM Kepemudaan dan lain-lain.
Sementara Lembaga Pelayanan Sumberdaya (service provider) adalah lembaga yang berfungsi sebagai pendukung berupa berbagai pelayanan program, misalnya Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Perbankan, Lembaga Pelayanan Pemerintah, Lembaga Pemberitaan (Pers).
Bina Mitra Sumberdaya yaitu sebuah badan independen di berbagai tingkatan yang berfungsi mengembangkan jejaring dan kemitraan antar Komunitas Basis, Lembaga pengembangan Masyarakat dan Lembaga pelayanan Sumberdaya serta menyelenggarakan capacity building di semua tingkat masyarakat baik itu yang melayani maupun yang dilayani. Badan ini juga mendorong Pemerintah membuat aturan yang menciptakan iklim kondusif untuk sektor usaha mikro dan interaksi di masyarakat untuk upaya-upaya keberdayaan masyarakat. Lebih dari itu badan ini berusaha menggalang kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah, bisnis, dan filantropi (dalam dan luar negeri) untuk memajukan sektor ekonomi mikro dan pelayanan dasar dibidang kesehatan dan pendidikan.
Dalam skema tersebut diharapkan masyarakat bersama berkemampuan meningkatlan keberdayaan sosial ekonomi secara berkelanjutan.****
[1] Ditulis untuk Majalah SADHANA, Juni 2012
[2] Aktifis Pengembangan Sosial, Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya, Pendiri dan Pemimpin Umum Majalah Trubus