‘Kejujuran atau integritas ibarat mahkota artinya suatu nilai yang dijunjung tinggi dalam praktek bisnis keuangan,’ tandas Dirut BPR Tata Arta Swadaya (salah satu BPR milik Bina Swadaya yang berposisi di Lampung) Daliun Nizar kepada INFO beberapa waktu lalu. Kedengarannya klise, namun sangat mendasar. Sebab pada hakikatnya, bisnis keuangan adalah ‘bisnis kepercayaan’. Kepercayaan merupakan tantangan utama dalam mengoperasikan lembaga keuangan. Bagi Daliun yang punya beberapa pengalaman menghadapi staf yang tidak jujur, orang yang tidak bisa bekerja masih bisa dididik atau dikembangkan, namun orang yang memiliki sifat tidak jujur akan sulit. Dalam batas tertentu ia masih bisa memaafkan staf yang tidak jujur apabila mau mengakui kesalahan dan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Untuk mengajarkan kejujuran, tidak ada cara lain. Pimpinan harus menjadi model atau teladan kejujuran. Ketika ditanya, pernahkah tergoda untuk mengambil keuntungan materiil dengan statusnya sebagai pimpinan BPR? ‘Wah, kalau pimpinan sudah berpikir begitu, itu sudah pertanda buruk bagi lembaga yang dipimpinnya,’ ujarnya diplomatis. Pria yang pintar main drum ini ingat nasihat Imam Soedarwo, ketua dewan pembina Yayasan Bina Swadaya, bahwa ‘ikan membusuk selalu berawal dari kepala’. Kalau pimpinan tidak jujur, bawahan pun akan demikian dan lembaga keuangan yang dipimpinnya akan hancur.
Bagaimana menjauhi hal seperti itu? ‘Produk bank adalah uang. Bagi saya, uang adalah amanah. Artinya, suatu kepercayaan atau titipan dari orang lain yang harus dijaga dan tidak boleh disalahgunakan,’ ujar Daliun yang kini dipromosikan sebagai Kepala Unit Operasional dan Pengembangan PPKM. Pria yang beristrikan Syafrida, guru senior SMP Negeri Metro ini menambahkan, keluarga juga punya andil mendukung profesinya sebagai bankir. ‘Kalau uang yang saya bawa pulang di luar dompet, istri saya paham bahwa itu bukan haknya,’ singkap bankir BPD Lampung tahun 1981-1993. Menurutnya, tantangan penting lain dalam pengelolaan lembaga keuangan adalah kepatuhan terhadap sistem serta penghargaan terhadap staf.
Saat awal-awal memimpin BPR Tata Arta Swadaya (TAS) pada akhir 1993 ia menghadapi banyak kendala. Pertama, miskinnya kepercayaan mesyarakat. Banyak orang belum percaya untuk menyimpan uangnya di BPR. Kedua, miskin modal. Modal awal BPR TAS yang dirintis melalui program Pos Pelayanan Lapang (P2L), program pelayanan keuangan Bina Swadaya di Kotagajah tahun 1991-1993, hanya Rp 45 juta. Yang terakhir adalah miskin kapasitas.
Menjawab tantangan besar itu, Daliun mengajak para staf bekerja keras dan mencurahkan komitmen untuk pengembangan BPR. Prioritasnya, membangun kepercayaan dan citra melalui promosi door to door. Caranya dengan menghadiri berbagai pertemuan kelompok-kelompok di seluruh wilayah Kotagajah. Bahkan dalam beragam kegiatan guswil pun, ia selalu meminta waktu untuk mempromosikan BPR TAS. Tidak ada pertemuan yang terlewatkan, baik itu pertemuan RT, RW, PKK, KSM dampingan guswil, sekolah, kantor pemerintah, dan kelompok lainnya. ‘Selama 3-4 tahun kami benar-benar all-out membangun kepercayaan masyarakat terhadap BPR TAS,’ terang Daliun yang menjadi koordinator program P2L tersebut.
Tantangan besar berikutnya dalam mengelola lembaga keuangan terletak pada sistem internal control. ‘Meski mentalnya bagus, kalau ada kesempatan pasti akan tergoda juga,’ tebak sulung dari 6 bersaudara buah cinta pasangan Syahri-Nurbaya, petani dan pedagang hasil bumi di Kotabumi, Lampung. Membuktikan concernnya pada internal control, Daliun mengambil kebijakan taktis. Saat melakukan penagihan angsuran, credit officer tidak boleh jalan sendiri. ‘Setiap wilayah kerja di BPR TAS menjadi tanggung jawab 2 orang staf. Sehingga, bila salah satu staf berniat tidak jujur, maka yang lainnya akan mengingatkan. Buntutnya, penyimpangan keuangan urung terjadi,’ ujarnya. Ia juga menekankan perlunya membuat pemisahan yang jelas antara bagian pembukuan dan kasir.
Pria yang duduk sebagai wakil ketua Perbarindo (Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia) Lampung ini menengarai, penghargaan terhadap manusia merupakan salah satu pilar penting dalam membangun organisasi. Ia tidak sependapat dengan perilaku pimpinan yang setiap bertemu staf cenderung menunjukkan daftar kesalahan dan menanyakan mengapa target tidak bisa dicapai, sementara prestasi yang bersangkutan tidak dihargai. ‘Kalau demikian yang terjadi, pada tahun pertama staf mungkin berprestasi. Namun pada tahun selanjutnya boleh jadi pimpinan akan menuai persoalan,’ ujarnya.
Menurut Daliun, gaji adalah nomor 2. Yang penting staf bekerja dengan rasa nyaman, aman, dihargai, dan bisa mengaktualisasikan diri. Penghargaan tidak selalu berujud materi, melainkan juga non materiil. ‘Prinsip saya, janganlah menyuruh staf bekerja keras namun membiarkannya kelaparan. Artinya, berilah staf penghasilan yang cukup dan hargailah prestasinya. Tanamkan pengertian kalau perusahaan ini berkembang, penghasilan mereka pun akan meningkat. Sehubungan dengan hal ini, penghasilan staf di BPR TAS mengggunakan sistem poin,’ singkapnya. Ia memaparkan, tiap-tiap pekerjaan yang dilakukan staf ada poinnya. Misalnya, berapa nasabah yang ditangani, tingkat outstanding credit, dan tingkat pengembalian. Poin-poin itu menjadi acuan penetapan gaji staf yang ditinjau setiap 6 bulan.
Tatkala INFO menanyakan bagaimana peran PPKM ditengah-tengah BPR dan kantor cabang Pelayanan Keuangan Mikro (PKM), pria alumnus Universitas Muhammadiyah Lampung ini menegaskan, ‘Idealnya PPKM bisa menjadi holding company, yaitu pengatur lalu lintas dan pusat menajemen. Artinya, ia harus bisa mensupport cabang-cabang menyangkut berbagai hal. Misalnya likuiditas, pengembangan sistem, pengembangan SDM, pendanaan, dan kontrol. Jadi benar-benar sebagai pusat manajemen, bukan sekadar pusat administrasi,’ tegasnya.
Mengomentari pendekatan pelayanan keuangan yang dijalankan oleh guswil, kantor cabang PKM (model ASA), dan BPR, ia memaparkan, doktrin awal guswil adalah pengembangan masyarakat, bukan pelepas uang. ‘Jadi mereka tidak tegelan (tega – red) dan kurang mempunyai naluri apakah kredit yang disalurkannya akan kembali’, terang pria yang hobinya main pingpong (tennis meja) sambil tersenyum. Kekuatan model ASA terletak pada nilai kedisiplinan, seperti disiplin staf, administrasi, keuangan, peraturan, kelompok, dan penagihan. Tanpa kedisiplinan, pelayanan kredit model ASA akan terbentur banyak kesulitan. Sedangkan BPR mengacu pada regulasi dan pengawasan Bank Indonesia. ‘Bedanya BPR masih memiliki back-up, yaitu jaminan,’ ujarnya kalem. Menyinggung upaya peningkatan kinerja, untuk BPR tinggal merujuk pada indikator CAMEL yaitu Capital (permodalan), Asset quality (kualitas aktiva produktif), Management (manajemen), Earning (pendapatan) dan Liquidiity (likuiditas). Khusus untuk model ASA, Daliun masih mempelajari model yang terbilang baru bagi Bina Swadaya ini dan perlu terus mencermati implementasinya.
Dibandingkan BPR lain di Lampung yang mayoritas melayani pegawai negari sipil, BPR TAS lebih banyak melayani pengusaha mikro (sekitar 70%). Oleh karena itu BPR TAS selalu menjadi rujukan BPR lain dalam rangka pemberdayaan usaha mikro dan kecil. BPR TAS kini memiliki modal hampir Rp 1 milyar, asset sebesar 8,6 miliar dan menempati peringkat ke-15 se -Lampung (dari 30 BPR) dengan outstanding credit Rp 6,7 miliar dan tingkat pengembalian berkisar 85% – 95%. Tingkat kesehatannya atau CAMEL juga termasuk kategori sehat (nilai 93). Pria yang memiliki motto ‘kerja keras tapi tidak ngoyo’ ini tidak punya impian yang muluk-muluk. Ia berharap dapat mengantar 3 anaknya, Meidy, Niko, dan Mutiara, untuk menyelesaikan studi hingga memperoleh jalan yang lapang menuju masa depan. (sigit, ditto)